Jumat, 31 Agustus 2012

Kebakaran Hutan Jateng: Sebagian Api di Gunung Slamet Mulai Padam (Bagian I)

Oleh Tommy Apriando (Kontributor Daerah Istimewa Yogyakarta),  August 31, 2012 6:42 am

 

Kepulan asap kebakaran hutan masih terlihat dari desa Kutabwa, Purbalingga. Foto: Tommy Apriando

Handly Talky (HT) dari Base Camp pendakian, Bambangan, Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, terus berbunyi. Tim SAR, TNI dan Polri terus memantau keberangkatan tim pertama ke lokasi kebakaran hutan. Kamis, 30 Agustus 2012, sudah enam hari tim relawan bertugas untuk menyelamatkan manusia dan alam.

Sinar matahari yang memancar dan hembusan angin dingin bersatu menghantam kulit. Warga sekitar tetap melakukan aktivitas rutin untuk berkebun. Menanam, menyiram dan memetik sayur dan buah. Begitu juga dengan Komandan SAR Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, Sugeng Riyadi dan rekan-rekan tim relawan yang benar-benar di sibukkan sejak Sabtu, 25 Agustus 2012 hingga pagi itu. Mengkondisikan dapur umum, memantau tim relawan, melihat kondisi kebakaran, berkoordinasi dengan relawan dan instansi pemerintah, serta tidak ketinggalan melayani rekan-rekan media. Mereka di amanahkan tugas yang cukup berat. Memadamkan Api di hutan lindung, Gunung Slamet. Di ketinggian berkisar antara 2.500 hingga 3.200 Meter di Atas Permukaan Laut (MDPL).

“Ini sudah menjadi tanggung jawab kita semua untuk selamatkan manusia dan alam. Lelah itu pasti, tapi tugas ini lebih berarti. Hari ini, akan ada 2 tim relawan yang diberangkatkan,” kata Sugeng kepada Mongabay Indonesia.

Kebakaran hutan terjadi sejak Sabtu pagi, 25 Agustus 2012, sekitar pukul 03.00. Kebakaran pertama kali terlihat pukul 06.00, saat matahari mulai muncul, dilihat oleh warga sekitar. Kepulan asap putih tebal membumbung dari gunung dengan ketinggian berkisar 3.000 meter di atas permukaan laut.  Dan sampai kemarin belum diketahui penyebab pastinya dari kebakaran tersebut. Begitupun juga dengan kepastian berapa luas lahan yang terbakar.

Tim relawan hanya menduga dari berbagai kemungkinan. Karena api unggun yang dibuat oleh pendaki, puntung rokok yang dibuang pendaki atau gesekan pohon karena musim kemarau ini. Sedangkan lokasi kebakaran ada di pos 5 dan Pos 7. Pos-pos ini merupakan pos tempat pendaki biasanya mendirikan tenda, sebelum pagi harinya melakukan perjalanan menuju puncak gunung. Di pos ini banyak ditumbuhi semak belukar yang mudah terbakar saat musim kemarau. Hutan di dekat batas vegetasi memang rawan terjadi kebakaran. “Untuk kepastian penyebab kebakaran nanti pihak Perhutani yang akan melakukan verifikasi di lokasi dan mendata berapa hektar luas lahan yang terbakar,” kata Sugeng.


Komanda Kodim Letkol.Arm Jati Bambang Priyambodo memberikan apel pelepasan tim relawan kedua, Rabu 29 Agustus 2012. Foto: Tommy Apriando

Hari pertama dan kedua kebakaran terjadi, tim relawan langsung dibentuk untuk segera melakukan evakuasi terhadap para pendaki. Sedangkan upaya pemadaman Api, dilakukan sejak Senin hingga Kamis. “Bagaimanapun juga, kita selamatkan dulu jiwa manusianya, setelah itu alam yang terbakar,” kata Sugeng kepada Mongabay Indonesia.

Dalam evakuasi para pendaki yang dilakukan oleh tim relawan sejak hari pertama dan hari kedua, ada 280 pendaki yang di evakuasi paksa untuk turun dari Gunung Slamet. Hal yang cukup menyulitkan adalah posisi pendaki pun berbeda-beda. Ada yang sudah di Pos 3,Pos 4, Pos 5, Pos 6 bahkan ada juga yang di puncak Gunung. Dan sejak Minggu, pukul 17.00, tim relawan sudah steril-kan lokasi gunung dari pendakian. “Kami paksa pendaki untuk turun demi keselamatan. Untuk pendaki yang terjebak api, kami evakuasi melalui jalur alternatif, dan semua selamat,” kata Mulyanto, Komandan Lapangan SAR Purbalingga.

Terkait dengan upaya pemadaman, secara keseluruhan tim relawan lebih dari 300 orang. Adapun rincian personil relawan meliputi 11 TNI, 30 SAR Purbalingga, 20 Tagana, 4 Polres Purbalingga, 10 Aremba (mapala), 50 Perhutani, 10 PMI dan lainnya warga sekitar dan karang taruna. Lokasi diketinggian berkisar 2.300 hingga 2.550 mdpl,memang  menyulitkan relawan untuk menuju sumber kebakaran. Untuk memadamkan api yang dilakukan adalah dengan cara membuat sekat parit-patir, guna memotong rambatan api. Dengan demikian, kebakaran dapat dilokalisasi sehingga api secara perlahan terus mengecil. Alat yang digunakan hanya cangkul, kayu dan celurit/arit. “Api membesar kami serang pinggir, api kecil serang dalam,”kata Lelkol Arm Jati Bambang Priyambodo, Komandan kodim, Purbalingga yang memimpin apel pelepasan tim relawan.


Peta lokasi Gunung Slamet, Jawa Tengah. Peta: Google Map

Hutan di lereng Gunung Slamet ternyata sudah sering mengalami kebakaran. Pada Juli 1984, ratusan siswa SMAN 2 Purwokerto terjebak kobaran api di puncak Gunung Slamet. Bahkan titik api terlihat hingga Purwokerto. Penyebab kebakaran saat itu diduga dari puntung rokok yang dibuang sembarangan oleh para pendaki hingga menyulut pohon-pohon maupun ilalang yang mengering.

Pada 2007, kebakaran juga melanda kawasan hutan Gunung Slamet. Hutan semak di sekitar badan Gunung Slamet, yang masuk dalam lokasi Kabupaten Purbalingga, Kamis malam, 16 Agustus 2007, sekitar pukul 21.00, terbakar. Kebakaran itu melalap semak-semak di sekitar pos tujuh dan pos delapan jalur pendakian atau yang dikenal pula antara Pos Sang Hyang Rangkah dan Sang Hyang Kendit, pada ketinggian 2.288 meter di atas permukaan laut.

Pada awal September 2009, lebih dari 52 hektare terbakar  yang merupakan kawasan hutan lindung di atas ketinggian 2.500 meter di atas permukaan air laut atau di blok Samarantu, terbakar. Selain itu pada Agustus 2011 dan terakhir pada tahun 25 Agustus 2012 ini. “Sekarang  ini kebakaran yang kelima kalinya, beberapa penyebabnya karena membuang puntung rokok sembarangan dan percikan api unggun dan terjadi di musim kemarau. Kami sudah peringatkan, namun di lokasi mereka sering abaikan itu,” kata Mulyanto menambahkan.


Gunung Slamet, Jawa Tengah. Peta: Google Map

Berdasarkan koordinasi terakhir, dengan Sugeng Riyadi yang berada di lokasi pada Kamis sore, 30 Agustus 2012 pukul 16.00 wib. Api kebakaran untuk wilayah Purbalingga, sudah berhasil dipadamkan oleh tim relawan. Kebakaran hutan yang terjadi sejak enam hari lalu, cenderung meluas di wilayah perbatasan Kabupaten Purbalingga dan Pemalang, Jawa Tengah, akibat tiupan angin yang kencang. Selain itu, upaya pemadaman juga dihadapkan pada sulitnya medan dan kekeringan akibat kemarau.  “Api sudah padam, namun kami akan terus melakukan pemantauan,” kata Sugeng.

Sumber : http://www.mongabay.co.id/2012/08/31/kebakaran-hutan-jateng-sebagian-api-di-gunung-slamet-mulai-padam-bagian-i/#ixzz258pJbAXg

Senin, 13 Agustus 2012

JARINGAN ANTI PENYIKSAAN INDONESIA

Jaringan Anti Penyiksaan Indonesia (JAPI) adalah sebuah koalisi jaringan bersama lembaga swadaya masyarakat Indonesia yang bersama-sama melakukan kampanye menentang penyiksaan dan advokasi kasus penyiksaan sejak tahun 2003. Aktivitas taktis yang dilakukan oleh JAPI saat itu adalah melakukan kampanye publik tentang anti penyiksaan, advokasi penanganan kasus dan advokasi kebijakan.

SEJARAH
Penyiksaan adalah ibu dari segala pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Penyiksaan melahirkan sejumlah kejahatan HAM lainnya, mulai dari pembunuhan ekstra-yudisial hingga penyangkalan hak atas peradilan yang jujur (fair trial). Hukum HAM internasional menempatkan penyiksaan sebagai norma kejahatan tertinggi; menjadikan pelaku penyiksaan sebagai musuh bersama seluruh umat manusia (hostis humanis generis). Penyiksaan tidak hanya menyisakan bekas luka di sekujur tubuh, namun juga meninggalkan jejak trauma yang mendalam bagi korban. Penyiksaan bukan sekedar melukai fisik dan psikis manusia saja, tetapi juga mencerabut harkat martabat korban sebagai manusia. Seketika itu ia disiksa, seketika itu juga kemanusiaan korban dikoyak.

Betapa tindakan penyiksaan akan berdampak besar, atas keprihatinan tersebut pada tahun 2003 dibentuklah Jaringan Anti Penyiksaan Indonesia (JAPI) oleh beberapa lembaga yang konsen kepada Hak Asasi Manusia saat itu membuat jaringan kerja yang fokus terhadap advokasi anti penyiksaan. Aktivitas taktis yang dilakukan oleh JAPI saat itu adalah melakukan kampanye publik tentang anti penyiksaan, advokasi penanganan kasus dan advokasi kebijakan.

Beberapa kegiatan yang pernah dilakukan oleh JAPI yakni, pada tahun 2008 mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum atas masih adanya peristiwa penyiksaan kepada Presiden RI, Menteri Hukum dan HAM, serta Kapolri. Pada tahun 2009 aksi bersama di Bundaran Hotel Indonesia untuk memberikan dukungan kepada korban penyiksaan. Tahun 2010 dilakukan diskusi publik dengan tema ‘Fenomena Penyiksaan dalam Penegakan Hukum di Republik Indonesia serta Agenda Hukum ke Depan’ di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, agenda yang lain adalah inmemorialisasi diwilayah tangerang tempat peristiwa penyiksaan tahun 1965 pernah terjadi. Pada tahun 2011 dilakukan aksi bersama dalam bentuk bersepeda bersama serta kegiatan inmemorialisasi di gedung Rumah Tahanan Militer (RTM) Guntur, Jakarta Pusat

Video Kampanye Terkait :


silahkan klik website berikut :  http://antipenyiksaan.org/

Powered by Telkomsel BlackBerry®

RUU Ormas: Susah Ngumpul


Setelah reformasi, Indonesia memberikan jaminan kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat kepada seluruh warga negara Indonesia. Jaminan ini termuat dalam Pasl 28 dan 28 E ayat 3 Undang Undang Dasar 1945, selain itu kemerdekaan berkumpul juga dijamin dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights . Untuk komunitas masyarakat adat jaminan untuk berkumpul dan melestarikan budayanya ada dalam United Nations Declaration on The Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP). Buah dari jaminan kemerdekaan berserikat dan/atau berkumpul adalah tumbuhnya berbagai organisasi di berbagai bidang yang memberikan kontribusi bagi pembangunan negara. Jaminan ini juga membuahkan jaminan kemerdekaan pers di Indonesia.

Pada tahun 1987 ada beberapa organisasi yang dibubarkan pemerintah tanpa proses pengadilan seperti Pemuda Marhaen dan Pelajar Islam Indonesia. Selain organisasi masyarakat pada masa ini juga terjadi pembredelan berbagai surat kabar. Surat kabar yang dianggap berbahaya dan tidak sejalan dengan tujuan pemerintah akan dibredel, terlebih surat kabar yang menyinggung Cendana dan kroni-kroninya. Pembredelan terbesar terjadi pada saat peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), 12 surat kabar dan majalah dibredel: Indonesia Raya, Pedoman, Harian KAMI, Nusantara, Abadi, The Jakarta Times, Mingguan Wenang, Pemuda Indonesia, Suluh Berita, Mahasiswa Indonesia, Indonesia Pos, dan Ekspress[1].


Bagaimana dengan saat ini? Apakah kondisi kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat  berada pada keadaan “baik-baik saja”? Ternyata tidak, saat ini pemerintah dan DPR RI sedang membahas satu rancangan undang undang tentang organisasi masyarakat (RUU Ormas). Alasan awal pembentukan RUU ini adalah penindakan organisasi-organisasi pelaku kekerasan. Namun, disadari atau tidak apabila dilihat dari substansinya RUU ini justru akan mengekang kemerdekaan berkumpul bagi generasi saat ini dan membunuh hak berdemokrasi dalam konteks berserikat dan berkumpul bagi generasi mendatang. Jika dilihat dari keberadaan instrumen hukum di Indonesia, sesungguhnya kekerasan oleh organisasi bisa ditindak dengan Undang Undang yang ada, namun masalahnya selama ini bukan ketiadaan peraturan tetapi ketiadaan penegakan hukum. 


Saat ini pembahasan RUU Ormas sampai pada tingkat panitia kerja (Panja). Apakah substansi RUU Ormas benar-benar menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul? Kenyataannya justru sebaliknya, substansi RUU Ormas justru menuju ke arah pengekangan ruang demokrasi. Jika RUU ini disahkan, seluruh organisasi yang ada di Indonesia baik berbadan hukum maupun tidak harus mendaftarkan diri kepada kementrian dalam negeri. Ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi, selain itu masih akan ada proses ferivikasi syarat-syarat yang menjadi dasar diterbitkan/tidaknya Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Melihat kondisi birokrasi di Indonesia saat ini, proses pendaftaran akan mengurangi pemenuhan hak untuk berkumpul. Akan ada banyak kelompok yang tidak bisa berkumpul karena syarat-syarat pendaftarannya tidak dapat dipenuhi, juga banyak organisasi-organisasi baru yang tidak bisa berdiri karena hal-hal ini. Ketentuan ini juga akan membuka peluang adanya pungutan liar dan korupsi aparat penerima pendaftaran.


Selain pendaftaran, definisi Organisasi Masyarakat (Ormas) dalam RUU ini juga sangat luas, organisasi profesi, hobi, kesenian, agama, kebudayaan, olahraga, pendidikan dan sebagainya. Apakah tidak berlebihan jika sebuah kelompok kesenian kuda lumping yang anggotanya sepuluh orang  misalnya harus membuat Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dan mendaftarkan diri ke kementrian dalam negeri? Atau kelompok ibu-ibu arisan, alumni sebuah universitas atau Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) juga harus mendaftarkan diri?


Belum lagi dalam RUU ini pemerintah dan pemerintah daerah memiliki kewenangan pembekuan organisasi tanpa melalui proses pengadilan. Kondisi tahun 1987 dimana ada banyak organisasi dilarang beraktifitas mungkin akan terulang. Peraturan ini bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk “mematikan” suara-suara yang tidak sejalan dengan arah kebijakannya. Proses-proses partisipasi warga dalam mengawasi dan/atau menentukan kebijakan/program negara akan hilang. Berangsur-angsur rezim otoriter Orde Baru mungkin berulang.

Jika dilihat dari segi substansi RUU Ormas sesungguhnya sebagian sudah termuat dalam Undang-undang yang ada saat ini ada. Undang Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan Undang Undang Nomor No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberikan ketentuan yang cukup memadai bagi organisasi berbadan hukum. Undang-undang ini mengatur mekanisme pendaftaran juga kewajiban memberikan keterbukaan informasi publik tentang asas dan tujuan, program, sumber dana, pengelolaan bagi sebuah organisasi. Selain dua Undang-undang ini ada satu peraturan lain yang mengatur kehidupan berorganisasi yaitu Staatsblad (Undang-undang jaman pemerintahan Belanda) tentang perkumpulan. Ketentuan ini lebih fleksibel  mengatur kehidupan berorganisasi, bagi yang hendak berbadan hukum bisa mendaftarkan diri ke kementrian hukum dan HAM, bagi yang tidak berbadan hukum tidak perlu mendaftarkan diri namun tetap dilindungi hak berkumpul oleh peraturan ini maupun UUD 1945. Pendekatan pendaftarannya hanya bersifat administratif tidak seperti pendaftaran di Kementrian Dalam Negeri yang menggunakan pendekatan politik dan keamanan. Dari pada membuat RUU Ormas yang represif, mengapa tidak memperbaiki RUU perkumpulan yang lebih solutif?

Lihat lengkap di link www.dpr.go.id/uu/…/RUU_RUU_Tentang_Organisasi_Masyarakat. versi draft RUU Ormas
T: @susahKumpul
F: Susahkumpul
KOALISI KEMERDEKAAN BERSERIKAT DAN BEREKSPRESI (KKBB)