Senin, 13 Agustus 2012
RUU Ormas: Susah Ngumpul
Setelah reformasi, Indonesia memberikan jaminan kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat kepada seluruh warga negara Indonesia. Jaminan ini termuat dalam Pasl 28 dan 28 E ayat 3 Undang Undang Dasar 1945, selain itu kemerdekaan berkumpul juga dijamin dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights . Untuk komunitas masyarakat adat jaminan untuk berkumpul dan melestarikan budayanya ada dalam United Nations Declaration on The Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP). Buah dari jaminan kemerdekaan berserikat dan/atau berkumpul adalah tumbuhnya berbagai organisasi di berbagai bidang yang memberikan kontribusi bagi pembangunan negara. Jaminan ini juga membuahkan jaminan kemerdekaan pers di Indonesia.
Pada tahun 1987 ada beberapa organisasi yang dibubarkan pemerintah tanpa proses pengadilan seperti Pemuda Marhaen dan Pelajar Islam Indonesia. Selain organisasi masyarakat pada masa ini juga terjadi pembredelan berbagai surat kabar. Surat kabar yang dianggap berbahaya dan tidak sejalan dengan tujuan pemerintah akan dibredel, terlebih surat kabar yang menyinggung Cendana dan kroni-kroninya. Pembredelan terbesar terjadi pada saat peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), 12 surat kabar dan majalah dibredel: Indonesia Raya, Pedoman, Harian KAMI, Nusantara, Abadi, The Jakarta Times, Mingguan Wenang, Pemuda Indonesia, Suluh Berita, Mahasiswa Indonesia, Indonesia Pos, dan Ekspress[1].
Bagaimana dengan saat ini? Apakah kondisi kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat berada pada keadaan “baik-baik saja”? Ternyata tidak, saat ini pemerintah dan DPR RI sedang membahas satu rancangan undang undang tentang organisasi masyarakat (RUU Ormas). Alasan awal pembentukan RUU ini adalah penindakan organisasi-organisasi pelaku kekerasan. Namun, disadari atau tidak apabila dilihat dari substansinya RUU ini justru akan mengekang kemerdekaan berkumpul bagi generasi saat ini dan membunuh hak berdemokrasi dalam konteks berserikat dan berkumpul bagi generasi mendatang. Jika dilihat dari keberadaan instrumen hukum di Indonesia, sesungguhnya kekerasan oleh organisasi bisa ditindak dengan Undang Undang yang ada, namun masalahnya selama ini bukan ketiadaan peraturan tetapi ketiadaan penegakan hukum.
Saat ini pembahasan RUU Ormas sampai pada tingkat panitia kerja (Panja). Apakah substansi RUU Ormas benar-benar menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul? Kenyataannya justru sebaliknya, substansi RUU Ormas justru menuju ke arah pengekangan ruang demokrasi. Jika RUU ini disahkan, seluruh organisasi yang ada di Indonesia baik berbadan hukum maupun tidak harus mendaftarkan diri kepada kementrian dalam negeri. Ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi, selain itu masih akan ada proses ferivikasi syarat-syarat yang menjadi dasar diterbitkan/tidaknya Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Melihat kondisi birokrasi di Indonesia saat ini, proses pendaftaran akan mengurangi pemenuhan hak untuk berkumpul. Akan ada banyak kelompok yang tidak bisa berkumpul karena syarat-syarat pendaftarannya tidak dapat dipenuhi, juga banyak organisasi-organisasi baru yang tidak bisa berdiri karena hal-hal ini. Ketentuan ini juga akan membuka peluang adanya pungutan liar dan korupsi aparat penerima pendaftaran.
Selain pendaftaran, definisi Organisasi Masyarakat (Ormas) dalam RUU ini juga sangat luas, organisasi profesi, hobi, kesenian, agama, kebudayaan, olahraga, pendidikan dan sebagainya. Apakah tidak berlebihan jika sebuah kelompok kesenian kuda lumping yang anggotanya sepuluh orang misalnya harus membuat Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dan mendaftarkan diri ke kementrian dalam negeri? Atau kelompok ibu-ibu arisan, alumni sebuah universitas atau Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) juga harus mendaftarkan diri?
Belum lagi dalam RUU ini pemerintah dan pemerintah daerah memiliki kewenangan pembekuan organisasi tanpa melalui proses pengadilan. Kondisi tahun 1987 dimana ada banyak organisasi dilarang beraktifitas mungkin akan terulang. Peraturan ini bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk “mematikan” suara-suara yang tidak sejalan dengan arah kebijakannya. Proses-proses partisipasi warga dalam mengawasi dan/atau menentukan kebijakan/program negara akan hilang. Berangsur-angsur rezim otoriter Orde Baru mungkin berulang.
Jika dilihat dari segi substansi RUU Ormas sesungguhnya sebagian sudah termuat dalam Undang-undang yang ada saat ini ada. Undang Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan Undang Undang Nomor No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberikan ketentuan yang cukup memadai bagi organisasi berbadan hukum. Undang-undang ini mengatur mekanisme pendaftaran juga kewajiban memberikan keterbukaan informasi publik tentang asas dan tujuan, program, sumber dana, pengelolaan bagi sebuah organisasi. Selain dua Undang-undang ini ada satu peraturan lain yang mengatur kehidupan berorganisasi yaitu Staatsblad (Undang-undang jaman pemerintahan Belanda) tentang perkumpulan. Ketentuan ini lebih fleksibel mengatur kehidupan berorganisasi, bagi yang hendak berbadan hukum bisa mendaftarkan diri ke kementrian hukum dan HAM, bagi yang tidak berbadan hukum tidak perlu mendaftarkan diri namun tetap dilindungi hak berkumpul oleh peraturan ini maupun UUD 1945. Pendekatan pendaftarannya hanya bersifat administratif tidak seperti pendaftaran di Kementrian Dalam Negeri yang menggunakan pendekatan politik dan keamanan. Dari pada membuat RUU Ormas yang represif, mengapa tidak memperbaiki RUU perkumpulan yang lebih solutif?
Lihat lengkap di link www.dpr.go.id/uu/…/RUU_RUU_Tentang_Organisasi_Masyarakat. versi draft RUU Ormas
T: @susahKumpul
F: Susahkumpul
KOALISI KEMERDEKAAN BERSERIKAT DAN BEREKSPRESI (KKBB)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar