Oleh Tommy Apriando (Kontributor Daerah Istimewa Yogyakarta), August 31, 2012 6:42 am
Kepulan asap kebakaran hutan masih terlihat dari desa Kutabwa, Purbalingga. Foto: Tommy Apriando
Handly Talky (HT) dari Base Camp pendakian, Bambangan,
Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, Jawa
Tengah, terus berbunyi. Tim SAR, TNI dan Polri terus memantau
keberangkatan tim pertama ke lokasi kebakaran hutan. Kamis, 30 Agustus
2012, sudah enam hari tim relawan bertugas untuk menyelamatkan manusia
dan alam.
Sinar matahari yang memancar dan hembusan angin dingin bersatu
menghantam kulit. Warga sekitar tetap melakukan aktivitas rutin untuk
berkebun. Menanam, menyiram dan memetik sayur dan buah. Begitu juga
dengan Komandan SAR Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Purbalingga,
Sugeng Riyadi dan rekan-rekan tim relawan yang benar-benar di sibukkan
sejak Sabtu, 25 Agustus 2012 hingga pagi itu. Mengkondisikan dapur umum,
memantau tim relawan, melihat kondisi kebakaran, berkoordinasi dengan
relawan dan instansi pemerintah, serta tidak ketinggalan melayani
rekan-rekan media. Mereka di amanahkan tugas yang cukup berat.
Memadamkan Api di hutan lindung, Gunung Slamet. Di ketinggian berkisar
antara 2.500 hingga 3.200 Meter di Atas Permukaan Laut (MDPL).
“Ini sudah menjadi tanggung jawab kita semua untuk selamatkan manusia
dan alam. Lelah itu pasti, tapi tugas ini lebih berarti. Hari ini, akan
ada 2 tim relawan yang diberangkatkan,” kata Sugeng kepada Mongabay
Indonesia.
Kebakaran hutan terjadi sejak Sabtu pagi, 25 Agustus 2012, sekitar
pukul 03.00. Kebakaran pertama kali terlihat pukul 06.00, saat matahari
mulai muncul, dilihat oleh warga sekitar. Kepulan asap putih tebal
membumbung dari gunung dengan ketinggian berkisar 3.000 meter di atas
permukaan laut. Dan sampai kemarin belum diketahui penyebab pastinya
dari kebakaran tersebut. Begitupun juga dengan kepastian berapa luas
lahan yang terbakar.
Tim relawan hanya menduga dari berbagai kemungkinan. Karena api unggun
yang dibuat oleh pendaki, puntung rokok yang dibuang pendaki atau
gesekan pohon karena musim kemarau ini. Sedangkan lokasi kebakaran ada
di pos 5 dan Pos 7. Pos-pos ini merupakan pos tempat pendaki biasanya
mendirikan tenda, sebelum pagi harinya melakukan perjalanan menuju
puncak gunung. Di pos ini banyak ditumbuhi semak belukar yang mudah
terbakar saat musim kemarau. Hutan di dekat batas vegetasi memang rawan
terjadi kebakaran. “Untuk kepastian penyebab kebakaran nanti pihak
Perhutani yang akan melakukan verifikasi di lokasi dan mendata berapa
hektar luas lahan yang terbakar,” kata Sugeng.
Hari pertama dan kedua kebakaran terjadi, tim relawan langsung dibentuk
untuk segera melakukan evakuasi terhadap para pendaki. Sedangkan upaya
pemadaman Api, dilakukan sejak Senin hingga Kamis. “Bagaimanapun juga,
kita selamatkan dulu jiwa manusianya, setelah itu alam yang terbakar,”
kata Sugeng kepada Mongabay Indonesia.
Dalam evakuasi para pendaki yang dilakukan oleh tim relawan sejak hari
pertama dan hari kedua, ada 280 pendaki yang di evakuasi paksa untuk
turun dari Gunung Slamet. Hal yang cukup menyulitkan adalah posisi
pendaki pun berbeda-beda. Ada yang sudah di Pos 3,Pos 4, Pos 5, Pos 6
bahkan ada juga yang di puncak Gunung. Dan sejak Minggu, pukul 17.00,
tim relawan sudah steril-kan lokasi gunung dari pendakian.
“Kami paksa pendaki untuk turun demi keselamatan. Untuk pendaki yang
terjebak api, kami evakuasi melalui jalur alternatif, dan semua
selamat,” kata Mulyanto, Komandan Lapangan SAR Purbalingga.
Terkait dengan upaya pemadaman, secara keseluruhan tim relawan lebih
dari 300 orang. Adapun rincian personil relawan meliputi 11 TNI, 30 SAR
Purbalingga, 20 Tagana, 4 Polres Purbalingga, 10 Aremba (mapala), 50
Perhutani, 10 PMI dan lainnya warga sekitar dan karang taruna. Lokasi
diketinggian berkisar 2.300 hingga 2.550 mdpl,memang menyulitkan
relawan untuk menuju sumber kebakaran. Untuk memadamkan api yang
dilakukan adalah dengan cara membuat sekat parit-patir, guna memotong
rambatan api. Dengan demikian, kebakaran dapat dilokalisasi sehingga
api secara perlahan terus mengecil. Alat yang digunakan hanya cangkul,
kayu dan celurit/arit. “Api membesar kami serang pinggir, api kecil
serang dalam,”kata Lelkol Arm Jati Bambang Priyambodo, Komandan kodim,
Purbalingga yang memimpin apel pelepasan tim relawan.
Hutan di lereng Gunung Slamet ternyata sudah sering mengalami
kebakaran. Pada Juli 1984, ratusan siswa SMAN 2 Purwokerto terjebak
kobaran api di puncak Gunung Slamet. Bahkan titik api terlihat hingga
Purwokerto. Penyebab kebakaran saat itu diduga dari puntung rokok yang
dibuang sembarangan oleh para pendaki hingga menyulut pohon-pohon
maupun ilalang yang mengering.
Pada 2007, kebakaran juga melanda kawasan hutan Gunung Slamet. Hutan
semak di sekitar badan Gunung Slamet, yang masuk dalam lokasi Kabupaten
Purbalingga, Kamis malam, 16 Agustus 2007, sekitar pukul 21.00,
terbakar. Kebakaran itu melalap semak-semak di sekitar pos tujuh dan
pos delapan jalur pendakian atau yang dikenal pula antara Pos Sang
Hyang Rangkah dan Sang Hyang Kendit, pada ketinggian 2.288 meter di
atas permukaan laut.
Pada awal September 2009, lebih dari 52 hektare terbakar yang
merupakan kawasan hutan lindung di atas ketinggian 2.500 meter di atas
permukaan air laut atau di blok Samarantu, terbakar. Selain itu pada
Agustus 2011 dan terakhir pada tahun 25 Agustus 2012 ini. “Sekarang
ini kebakaran yang kelima kalinya, beberapa penyebabnya karena membuang
puntung rokok sembarangan dan percikan api unggun dan terjadi di musim
kemarau. Kami sudah peringatkan, namun di lokasi mereka sering abaikan
itu,” kata Mulyanto menambahkan.
Berdasarkan koordinasi terakhir, dengan Sugeng Riyadi yang berada di
lokasi pada Kamis sore, 30 Agustus 2012 pukul 16.00 wib. Api kebakaran
untuk wilayah Purbalingga, sudah berhasil dipadamkan oleh tim relawan.
Kebakaran hutan yang terjadi sejak enam hari lalu, cenderung meluas di
wilayah perbatasan Kabupaten Purbalingga dan Pemalang, Jawa Tengah,
akibat tiupan angin yang kencang. Selain itu, upaya pemadaman juga
dihadapkan pada sulitnya medan dan kekeringan akibat kemarau. “Api
sudah padam, namun kami akan terus melakukan pemantauan,” kata Sugeng.
Sumber : http://www.mongabay.co.id/2012/08/31/kebakaran-hutan-jateng-sebagian-api-di-gunung-slamet-mulai-padam-bagian-i/#ixzz258pJbAXg
Jumat, 31 Agustus 2012
Senin, 13 Agustus 2012
JARINGAN ANTI PENYIKSAAN INDONESIA
Jaringan Anti Penyiksaan Indonesia
(JAPI) adalah sebuah koalisi jaringan bersama lembaga swadaya
masyarakat Indonesia yang bersama-sama melakukan kampanye menentang
penyiksaan dan advokasi kasus penyiksaan sejak tahun 2003. Aktivitas
taktis yang dilakukan oleh JAPI saat itu adalah melakukan kampanye
publik tentang anti penyiksaan, advokasi penanganan kasus dan advokasi
kebijakan.
SEJARAH
Penyiksaan adalah ibu dari segala
pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Penyiksaan melahirkan sejumlah
kejahatan HAM lainnya, mulai dari pembunuhan ekstra-yudisial hingga
penyangkalan hak atas peradilan yang jujur (fair trial). Hukum HAM
internasional menempatkan penyiksaan sebagai norma kejahatan tertinggi;
menjadikan pelaku penyiksaan sebagai musuh bersama seluruh umat
manusia (hostis humanis generis). Penyiksaan tidak hanya menyisakan
bekas luka di sekujur tubuh, namun juga meninggalkan jejak trauma yang
mendalam bagi korban. Penyiksaan bukan sekedar melukai fisik dan psikis
manusia saja, tetapi juga mencerabut harkat martabat korban sebagai
manusia. Seketika itu ia disiksa, seketika itu juga kemanusiaan korban
dikoyak.
Betapa tindakan penyiksaan akan
berdampak besar, atas keprihatinan tersebut pada tahun 2003 dibentuklah
Jaringan Anti Penyiksaan Indonesia (JAPI) oleh beberapa lembaga yang
konsen kepada Hak Asasi Manusia saat itu membuat jaringan kerja yang
fokus terhadap advokasi anti penyiksaan. Aktivitas taktis yang dilakukan
oleh JAPI saat itu adalah melakukan kampanye publik tentang anti
penyiksaan, advokasi penanganan kasus dan advokasi kebijakan.
Beberapa kegiatan yang pernah dilakukan
oleh JAPI yakni, pada tahun 2008 mengajukan gugatan perbuatan melawan
hukum atas masih adanya peristiwa penyiksaan kepada Presiden RI, Menteri
Hukum dan HAM, serta Kapolri. Pada tahun 2009 aksi bersama di Bundaran
Hotel Indonesia untuk memberikan dukungan kepada korban penyiksaan.
Tahun 2010 dilakukan diskusi publik dengan tema ‘Fenomena Penyiksaan
dalam Penegakan Hukum di Republik Indonesia serta Agenda Hukum ke Depan’
di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, agenda yang lain adalah
inmemorialisasi diwilayah tangerang tempat peristiwa penyiksaan tahun
1965 pernah terjadi. Pada tahun 2011 dilakukan aksi bersama dalam bentuk
bersepeda bersama serta kegiatan inmemorialisasi di gedung Rumah
Tahanan Militer (RTM) Guntur, Jakarta Pusat
Video Kampanye Terkait :
silahkan klik website berikut : http://antipenyiksaan.org/
Powered by Telkomsel BlackBerry®
RUU Ormas: Susah Ngumpul
Setelah reformasi, Indonesia memberikan jaminan kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat kepada seluruh warga negara Indonesia. Jaminan ini termuat dalam Pasl 28 dan 28 E ayat 3 Undang Undang Dasar 1945, selain itu kemerdekaan berkumpul juga dijamin dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights . Untuk komunitas masyarakat adat jaminan untuk berkumpul dan melestarikan budayanya ada dalam United Nations Declaration on The Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP). Buah dari jaminan kemerdekaan berserikat dan/atau berkumpul adalah tumbuhnya berbagai organisasi di berbagai bidang yang memberikan kontribusi bagi pembangunan negara. Jaminan ini juga membuahkan jaminan kemerdekaan pers di Indonesia.
Pada tahun 1987 ada beberapa organisasi yang dibubarkan pemerintah tanpa proses pengadilan seperti Pemuda Marhaen dan Pelajar Islam Indonesia. Selain organisasi masyarakat pada masa ini juga terjadi pembredelan berbagai surat kabar. Surat kabar yang dianggap berbahaya dan tidak sejalan dengan tujuan pemerintah akan dibredel, terlebih surat kabar yang menyinggung Cendana dan kroni-kroninya. Pembredelan terbesar terjadi pada saat peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), 12 surat kabar dan majalah dibredel: Indonesia Raya, Pedoman, Harian KAMI, Nusantara, Abadi, The Jakarta Times, Mingguan Wenang, Pemuda Indonesia, Suluh Berita, Mahasiswa Indonesia, Indonesia Pos, dan Ekspress[1].
Bagaimana dengan saat ini? Apakah kondisi kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat berada pada keadaan “baik-baik saja”? Ternyata tidak, saat ini pemerintah dan DPR RI sedang membahas satu rancangan undang undang tentang organisasi masyarakat (RUU Ormas). Alasan awal pembentukan RUU ini adalah penindakan organisasi-organisasi pelaku kekerasan. Namun, disadari atau tidak apabila dilihat dari substansinya RUU ini justru akan mengekang kemerdekaan berkumpul bagi generasi saat ini dan membunuh hak berdemokrasi dalam konteks berserikat dan berkumpul bagi generasi mendatang. Jika dilihat dari keberadaan instrumen hukum di Indonesia, sesungguhnya kekerasan oleh organisasi bisa ditindak dengan Undang Undang yang ada, namun masalahnya selama ini bukan ketiadaan peraturan tetapi ketiadaan penegakan hukum.
Saat ini pembahasan RUU Ormas sampai pada tingkat panitia kerja (Panja). Apakah substansi RUU Ormas benar-benar menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul? Kenyataannya justru sebaliknya, substansi RUU Ormas justru menuju ke arah pengekangan ruang demokrasi. Jika RUU ini disahkan, seluruh organisasi yang ada di Indonesia baik berbadan hukum maupun tidak harus mendaftarkan diri kepada kementrian dalam negeri. Ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi, selain itu masih akan ada proses ferivikasi syarat-syarat yang menjadi dasar diterbitkan/tidaknya Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Melihat kondisi birokrasi di Indonesia saat ini, proses pendaftaran akan mengurangi pemenuhan hak untuk berkumpul. Akan ada banyak kelompok yang tidak bisa berkumpul karena syarat-syarat pendaftarannya tidak dapat dipenuhi, juga banyak organisasi-organisasi baru yang tidak bisa berdiri karena hal-hal ini. Ketentuan ini juga akan membuka peluang adanya pungutan liar dan korupsi aparat penerima pendaftaran.
Selain pendaftaran, definisi Organisasi Masyarakat (Ormas) dalam RUU ini juga sangat luas, organisasi profesi, hobi, kesenian, agama, kebudayaan, olahraga, pendidikan dan sebagainya. Apakah tidak berlebihan jika sebuah kelompok kesenian kuda lumping yang anggotanya sepuluh orang misalnya harus membuat Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dan mendaftarkan diri ke kementrian dalam negeri? Atau kelompok ibu-ibu arisan, alumni sebuah universitas atau Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) juga harus mendaftarkan diri?
Belum lagi dalam RUU ini pemerintah dan pemerintah daerah memiliki kewenangan pembekuan organisasi tanpa melalui proses pengadilan. Kondisi tahun 1987 dimana ada banyak organisasi dilarang beraktifitas mungkin akan terulang. Peraturan ini bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk “mematikan” suara-suara yang tidak sejalan dengan arah kebijakannya. Proses-proses partisipasi warga dalam mengawasi dan/atau menentukan kebijakan/program negara akan hilang. Berangsur-angsur rezim otoriter Orde Baru mungkin berulang.
Jika dilihat dari segi substansi RUU Ormas sesungguhnya sebagian sudah termuat dalam Undang-undang yang ada saat ini ada. Undang Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan Undang Undang Nomor No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberikan ketentuan yang cukup memadai bagi organisasi berbadan hukum. Undang-undang ini mengatur mekanisme pendaftaran juga kewajiban memberikan keterbukaan informasi publik tentang asas dan tujuan, program, sumber dana, pengelolaan bagi sebuah organisasi. Selain dua Undang-undang ini ada satu peraturan lain yang mengatur kehidupan berorganisasi yaitu Staatsblad (Undang-undang jaman pemerintahan Belanda) tentang perkumpulan. Ketentuan ini lebih fleksibel mengatur kehidupan berorganisasi, bagi yang hendak berbadan hukum bisa mendaftarkan diri ke kementrian hukum dan HAM, bagi yang tidak berbadan hukum tidak perlu mendaftarkan diri namun tetap dilindungi hak berkumpul oleh peraturan ini maupun UUD 1945. Pendekatan pendaftarannya hanya bersifat administratif tidak seperti pendaftaran di Kementrian Dalam Negeri yang menggunakan pendekatan politik dan keamanan. Dari pada membuat RUU Ormas yang represif, mengapa tidak memperbaiki RUU perkumpulan yang lebih solutif?
Lihat lengkap di link www.dpr.go.id/uu/…/RUU_RUU_Tentang_Organisasi_Masyarakat. versi draft RUU Ormas
T: @susahKumpul
F: Susahkumpul
KOALISI KEMERDEKAAN BERSERIKAT DAN BEREKSPRESI (KKBB)
Minggu, 29 Juli 2012
Kepedulian Komunitas LGBT Terhadap KPK
Komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Trangender (LGBT). Mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) . Selasa (10/7) kemarin. Dalam rangka memberikan dukungan terhadap pembangunan gedung KPK yang hingga saat ini dana pembangunannya tidak disetujui oleh Komisi III DPR RI.
Kedatangan komunitas LGBT tersebut juga menunjukan keseriusan mereka dalam mendukung pemeberantasan korupsi di Indonesia.
Sejumlah Komunitas LGBT yang mengenakan pakaian berwarna merah itu juga turut memberikan saweran terhadap KPK, dan langsung membantu melayani di posko pengumpulan dana peduli KPK.
Menurut Merlyn Sophjan anggota Forum Komunikasi Waria (FKW), dukungan mereka bukan hanya sebatas mendatangi, dan memberikan saweran hari itu saja, tetapi, kedepannya komunitas LGBT, akan membuka sejumlah salon dibeberapa tempat. Hasil dari salon tersebut akan dikumpulkan, dan disumbangkan untuk pembangunan KPK. Sebagai informasi, pengumpulan dana melalui pelayanan jasa salon tersebut akan dilakukan Selasa dan Rabu pekan depan. Antara lain di Tipikor, KPK, dan beberapa pasar di bilangan Jakarta. Kegiatan tersebut rencananya dilakukan mulai pukul 10.00-12.00 WIB.
” Aksi pembukaan salon ini juga akan diadakan di gedung KPK, tipikor dan di beberapa pasar yang ada di Jakarta. Kami tidak mematok harga. Kemudian dari hasil jasa salon itu seluruhnya akan disumbangkan untuk pembangunan gedung baru KPK. “ujar Merlyn Sophjan yang biasa di sapa Merlyn .
Selain itu Merlyn mendesak, sebagai warga masyarakat di Indonesia, agar DPR RI segera menyetujui dana pembangunan KPK. Dan kepada seluruh masyarakat di Indonesia agar turut mendukung dalam bentuk apapun untuk pemberantasan Korupsi di Indonesia. ” Secara moral kita bisa memberikan dukungan kepada KPK walau nominalnya kecil, namun saya harap ini dapat membantu KPK untuk membangun fasilitas dalam rangka pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sementara itu, Ketua FKW Yulianus Retobblaut, menuturkan, maksud dan tujuan kedatangan ke KPK selain memberikan dukungan kontribusi. Mereka juga menunjukan kepeduliannya sebagai warga Indonesia yang ingin Indonesia bebas dari korupsi. ” Saya berharap dukungan komunitas LGBT ini, dapat berguna untuk KPK meskipun nominalnya sedikit, tapi ini mampu mendorong supermasi penegakan hukum di Indonesia khususnya para korupsi,” tegas Yulianus yang lebih dikenal mami Yuli.
Widodo Budidarmo Koordinator dari Arus Pelangi menambahkan, keikutsertaan komunitas LGBT dalam memberikan saweran koin peduli KPK. Bukan sebagai ajang untuk membangun pencitraan semata. Namun, ini merupakan kesadaran komunitas LGBT, atas adanya sebuah permasalahan korupsi yang kini sedang terjadi.
” Kami datang kesini bukan karena membangun pencitraan semata, tapi kami datang kesini merupakan panggilan nurani dalam memberikan dukungan moril terhadap pemberantasan korupsi. Karena hingga saat ini korupsi di Indonesia terus saja meluas hingga kedaerah-daerah.” Tegas Widodo
Sementara itu, koordinator pengumpulan saweran koin untuk KPK, Ian Deta Artasari, mengatakan, hingga pukul 4 sore kemarin, dana yang telah terkumpul sekitar Rp.216 juta. . Rencananya, penggalangan dana tersebut akan terus dilakukan hingga DPR RI menyetujui dana untuk pembangunan gedung KPK yang baru. (Anang Prasetio)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
VIDEO TERKAIT dari Metro TV :
Rabu, 20 Juni 2012
LGBT Dalam Sudut Kemanusian
sumber foto : anang prasetio
Hak Asasi Manusia (HAM) patut dijunjung tinggi oleh siapapun dan diberlakukan untuk siapapun tanpa terkecuali.
Komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), masih terlihat abu-abu dalam sudut pandang kemanusian di Indonesia. Hal ini diperjelas oleh tokoh-tokoh atau pemerintah di Indonesia kurang memiliki keberanian dalam menyuarakan hak-hak LGBT sebagai warga negara, atau sekedar pengakuan yang lebih signifikan ditujukan untuk komunitas LGBT. Perlakuan diskriminasi oleh keluarga, masyarakat, dan agama menjadi steorotip ruang gerak mereka atas dasar sebuah penyimpangan.
Pengakuan eksistensi
Berangkat dari situasi tersebut, Komnas HAM sebagai instansi lembaga negara pada 25 November 2011 - 31 Januari 2012, mengadakan seleksi untuk calon anggota Komnas HAM 2012-2017. Tahap awal proses seleksi yang mulai 14 Maret telah menyeleksi 363 kandidat dengan latar belakang beragam: 49 perempuan, 1 transgender, dan 313 laki-laki. Selain itu, di antara mereka ada juga anggota Komnas HAM 2007-2012, eks anggota Komnas HAM perwakilan daerah, advokat, dosen, wartawan, PNS, purnawirawan TNI/Polri, rohaniwan, pengusaha, dan konsultan.
Keikutsertaan peserta dari komunitas LGBT dalam pencalonan Komisioner Komnas HAM. Sebagai suatu pengakuan eksistensi komunitas LGBT di Indonesia, untuk memiliki hak yang sama dalam ranah politik. Perlu disadari oleh masyarakat di Indonesia, bahwa komunitas LGBT juga memiliki daya saing dan berkompeten di masyarakat.
Kasus Kekerasan dan Penegakan Hukum
Kian maraknya kasus kekerasan di Indonesia hingga akhir tahun ini, seperti di Papua. Menjadi ajang bergengsi dari berbagai pihak untuk menyuarakan kasus tersebut. Alhasil dalam penuntasan kasus tersebut sikap pemerintah kurang respect hingga terabaikan. Tetapi hal ini perlu kita ketahui, kasus kekerasan juga sering kali terjadi terhadap komunitas LGBT dan negara absen dalam penuntasan kasus tersebut.
Kian maraknya kasus kekerasan di Indonesia hingga akhir tahun ini, seperti di Papua. Menjadi ajang bergengsi dari berbagai pihak untuk menyuarakan kasus tersebut. Alhasil dalam penuntasan kasus tersebut sikap pemerintah kurang respect hingga terabaikan. Tetapi hal ini perlu kita ketahui, kasus kekerasan juga sering kali terjadi terhadap komunitas LGBT dan negara absen dalam penuntasan kasus tersebut.
Pelaku kekerasan dan diskriminasi terhadap komunitas LGBT sangat beragam, hal ini dapat dilihat dari sederetan kasus seperti : Kasus penembakan terhadap waria di Taman Lawang, pembubaran pembelajaran Hak Asasi Manusia kepada Waria di Depok, pembubaran diskusi Irshad Manji di Salihara, pembubaran diskusi peluncuran buku di LKiS, kasus pelecehan terhadap peserta Indonesia Idol, kasus pemukulan waria oleh FPI di Makasar, dan masih banyak sederetan kasus yang belum terekspose di media.
Memberikan perlakuan secara exclusive bukan hal yang utama untuk mendapat sebuah keadilan. Namun, pengakuan dan pemberlakuan yang sama sebagai warga negara untuk memperoleh dan menjunjung tinggi hak-hak manusia menjadi hal yang utama. Perlindungan, dan penegakan hukum sangat penting dalam mencapai kesejahteraan bagi siapapun. Memanusiakan manusia, diharapkan menjadi sebuah prinsip dan kepribadian disemua kalangan, dalam berbagai aspek kehidupan guna menciptakan Indonesia yang ideal. (anang prasetio)
Rabu, 23 Mei 2012
Komunitas LGBT bertemu Megawati dalam Peringatan Hari Buruh
Komunitas LGBT bertemu Megawati dalam Peringatan Hari Buruh
Jakarta-Pada hari Rabu, (3/5/2012) Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memperinganti hari buruh sedunia
(May Day). Acara yang berlangsung di Seketariat PDIP di jl. Lenteng
Agung, Jakarta Selatan. Di hadiri oleh Presiden Indonesia ke 5 Megawati
Soekarno Putri, Rieke Diah Pitaloka, dan berbagai element organisasi
masyarakat antara lain : Organisasi Buruh, Pekerja Rumah Tangga,
Petani, Perawat, dan Komunitas Lesby, Gay, Biseksual, dan Transgender
(LGBT).
Dalam acara ini Dr. Ribka Tjiptaning (Ketua Komisi 9 DPR) dalam pidatonya mengatakan "Waria merasa bagian dari warga Indonesia dan menuntut hak atas kerja, karena mereka juga para Sarjana-Sarjana". tuturnya.
Organisasi LGBT yang ikut hadir dalam acara tersebut yakni Forum Komunikasi Waria (FKW), Arus Pelangi , Yayasan Putri Waria Indonesia (YPWI).
Saat diwawancarai oleh wartawan Our Voice Indonesia Merlyn Sopjan mengatakan “Saya
dan teman-teman dari LGBT ini berharap ada harapan-harapan ke depan
ingin mendapatkan hak dalam pekerjaan terutama, dan akses kesehatan”.
Nursuhud dari Komisi 9 DPR mengatakan “Di
dalam kehidupan warga negara tidak boleh ada diskriminasi, apapun
statusnya, apapun orientasi seksualnya dia adalah warga negara yang
harus dibela kepentingannya dan hak asasinya harus dipenuhi itu yang
menjadi prinsip. Dan nanti kami akan menindak lanjuti laporan tersebut
itu sebagai garis cermin fraksi nantinya”, ujarnya.
Jepri Firdaus selaku Seketaris Departement Tenaga Kerja PDIP menambahkan “Dalam
sebuah konteks negara semua memiliki hak yang sama tidak ada membeda
-bedakan baik itu agama, suku, ras, maupun orientasi seksual. Saya pikir
itu yang perlu dijamin oleh negara bahwa hak asasi itu harus dipenuhi”,
pungkasnya.
Dikesempatan
acara tersebut salah saru perwakilan komunitas LGBT memberikan beberapa
buku kepada Megawati diantaranya Hak Kerja Waria Tanggung Jawab Negara,
Diskriminasi dan Kekerasan terhadap LGBT, Prinsip-prinsip Yogjakarta.
“Kami
dari komunitas waria Indonesia sebenarnya memiliki kemampuan untuk bisa
bersaing dengan masyarakat yang lain. Tetapi memang selama ini kami
selalu di tolak bekerja karena dianggap antara penampilan kami dengan
kemampuan kami dalam berpikir dan bertindak tidak sama. Jadi kami mohon
setidaknya melalui peringatan hari buruh yang diselenggarakan oleh PDIP,
kami bisa memberikan wacana kepada masyarakat Indonesia dan PDIP yang
katanya peduli wong cilik”, tambah Merlyn. (Anang Prasetio)
Langganan:
Postingan (Atom)